Hukum Menceritakan Amal Saleh
Jumat, 1 Oktober 2021
Bismillahirrahmanirrahim.
Jika dilihat dari ditampakkan dan tidaknya, amal ibadah itu ada dua macam:
Pertama, ibadah yang harus ditampakkan. Seperti salat jamaah, azan, salat id, dan salat Jumat.
Kedua, ibadah yang tidak ada keharusan ditampakkan. Seperti salat malam, salat dhuha, sedekah, dan kebanyakan ibadah sunnah.
Untuk ibadah yang harus ditampakkan, maka tidak boleh disembunyikan, meskipun dengan alasan menjaga keikhlasan. Tampakkan ibadah tersebut dan tetaplah berusaha menjaga keikhlasan. Ibadah tersebut harus ditampakkan karena itu sebagai syiar agama. Di samping itu, ibadah jenis ini bisa menjadi sarana keteladanan bagi orang lain.
Pembahasan kita di bawah ini berkaitan dengan ibadah yang tidak ada keharusan ditampakkan. Artinya, tidak ada perintah syariat untuk menampakkannya.
Menampakkan amal tergantung pada kejernihan niat
Boleh dan tidaknya menampakkan amalan itu tergantung pada kejernihan niat berupa ikhlas dan terbebas dari nodanya, yaitu riya‘. Antara menampakkan dan menyembunyikan amal saleh, kalau tidak ikhlas, keduanya sama-sama tercela. Namun, asalkan bisa menata hati agar tetap ikhlas dan terbebas dari riya‘, maka keduanya sama-sama terpuji.
Menyembunyikan amalan lebih dekat kepada ikhlas, ini terpuji
Menampakkan atau menceritakan amalan, di sini ada nilai keteladanan dan menceritakan nikmat Allah, ini juga suatu hal yang terpuji.
Di dalam Al-Qur’an, Allah ‘Azza Wajalla memuji kedua model amal di atas,
إِن تُبۡدُواْ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِيَۖ وَإِن تُخۡفُوهَا وَتُؤۡتُوهَا ٱلۡفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمۡۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Maha teliti atas apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 271)
Menampakkan atau menceritakan amalan, asal ikhlas tetap terjaga, bisa mendapatkan dua tambahan pahala:
Pertama, pahala memberikan teladan yang baik.
Dijelaskan di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pahalanya yang luar biasa,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ .ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa saja yang mencontohkan suatu sunnah yang baik di dalam Islam, maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan siapa saja yang mencontohkan suatu sunnah yang jelek, maka dia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa orang yang mengikuti mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)
Baca Juga: Memetik Buah Amal
Kedua, pahala mengamalkan perintah Allah agar menceritakan nikmat-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
“Dan tentang nikmat Tuhanmu, ceritakanlah!” (QS. Adh-Dhuhaa: 11)
Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Al-Qurtubi rahimahullah menukilkan riwayat kisah teladan seorang ulama bernama Abu Firos Abdullah bin Gholib dalam mengamalkan ayat di atas. Di saat pagi hari tiba, Abu Firos bercerita kepada rekannya,
لَقَدْ رَزَقَنِي اللَّهُ الْبَارِحَةَ كَذَا، قَرَأْتُ كَذَا، وَصَلَّيْتُ كَذَا، وَذَكَرْتُ اللَّهَ كَذَا، وَفَعَلْتُ كَذَا.
“Semalam Allah telah memberiku rizki ibadah ini, aku membaca ayat ini, aku salat itu, aku berzikir ini kepada Allah, dan beramal saleh itu.”
فَقُلْنَا لَهُ: يَا أَبَا فِرَاسٍ، إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَقُولُ هَذَا!
“Wahai Abu Firos, orang seperti Anda tidak pantas bercerita seperti itu.” Tanggap rekannya mendengar cerita seperti itu.
Abu Firos menjawab,
قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ وَتَقُولُونَ أَنْتُمْ: لَا تُحَدِّثْ بِنِعْمَةِ اللَّهِ!
“Allah Ta’ala berfirman, ‘Tentang nikmat Tuhanmu, ceritakanlah!’ Sementara kalian mengatakan, ‘Jangan ceritakan nikmat Allah?!’ (Jami’ Al-Bayan, Tafsir Al-Qurtubi)
Terutama menampakkan amalan bila dilakukan oleh tokoh agama, guru, ustaz, kyai, ulama, atau orang yang memiliki banyak pengikut, maka sangat dianjurkan. Karena bisa menjadi sarana dakwah dan menginspirasi banyak orang. Namun ingat, harus tetap menjaga ikhlas dan waspada dari riya‘ serta ujub.
Mana yang lebih utama?
Selama ikhlas terjaga dan bukan untuk tujuan memberi keteladanan, maka menyembunyikan amalan itu lebih utama. Namun, jika tujuannya untuk mengajarkan atau memberikan keteladanan, maka menampakkan lebih utama. Karena dapat menjadi sarana mendapat pahala jariyah seperti keterangan dalam hadis yang kami kutip di atas.
Jadi, keduanya memiliki potensi menjadi lebih utama. Tergantung motif dan maslahat. Sebaiknya seorang mukmin memiliki amalan yang dia sembunyikan, yang mengetahui hanyalah dia dan Allah, dan amalan yang ditampakkan dengan tetap menjaga niat, di saat ada maslahat untuk memberikan pengajaran atau inspirasi. Dengan demikian, dia dapat meraup dua jenis pahala keutamaan di atas.
Wallahu a’lam bis showab
Baca Juga:
—
Penulis: Ahmad Anshori
Artikel: Muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/69191-hukum-menceritakan-amal-shalih.html